Dikisahkan setelah berdirinya Kesultanan di Cirebon, selanjutnya mengadakan pelebaran wilayah baru dengan mendirikan pedukuhan-pedukuhan (kampung) disekitarnya abad 15 M.
Tersebutlah sebuah Pedukuhan yang bernama Tegalmantro didirikan oleh seorang perempuan yang masih lajang bernama Nyi Mas Manawati atau lebih dikenal dengan sebutan Nyi Ageng Sumantro, beliau dikenal ahli menganyam produk rumah tangga dan berparas cantik jelita, sehingga banyak pembesar dari pedukuhan Iain yang berkeinginan meminang namun ditolak karena tidak sanggup memenuhi persyaratan maskawinnya.
Salah satu pelamar dari pembesar Kesultanan Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan sanggup memenuhi semua persyaratan yang diminta termasuk salah satunya adalah penjalin (rotan) dalam jumlah yang sudah ditentukan.
Ketika seluruh persyaratan maskawin dibuka satu persatu, disaksikan Oleh banyak pembesar dan penduduk sekitar, ternyata jumlah penjalin (rotan) tidak sesuai dengan jumlah yang disyaratkan, sehingga hal ini oleh Nyi Mas Sumantro dianggap suatu kebohongan yang tidak pantas dilakukan Oleh seorang pembesar yang ucapannya harus jujur dan bisa dipegang. karena hal ini mengakibatkan lamaran tersebut ditolak.
Pangeran Kejaksan sangat malu dan bingung karena sesungguhnya sebelum berangkat melamar, jumlah penjalin (rotan) tersebut sudah dihitung sesuai dengan yang disyaratkan. Namun sebagai pembesar yang bijak, beliau bisa menerima kejadian tersebut kemudian beliau berucap kepada Nyi Mas Ageng Sumantro “Kalau kamu tidak bisa menerima lamaran saya, tidak ada masalah. Akan tetapi seluruh rotan ini saya serahkan kepada kamu, untuk bisa menghidupi dan menjadi matapencaharian anak cucu kamu.”
Demikian setelah kejadian tersebut maka penduduk pedukuhan Tegalmantro (Tegalwangi) bermata pencaharian mengelola produk dari bahan baku rotan.
Periode Sesudah Kemerdekaan Tahun 1945 – 1986
Setelah masa kemerdekaan masyarakat Tegalwangi mulai menyebar secara masif ke wilayah Sumatra dari mulai Tanjung Karang hingga ke Aceh.
Pada umumnya mereka mencari rotan , membuat produk sekaligus menjual di daerah mereka tinggal, misalkan mereka tinggal di daerah Palembang, mencari bahan di Palembang dan membuat produk dan menjualnya di Palembang.
Sekitar akhir tahun 1950an masyarakat Tegalwangi sudah mulai mapan di kota Jakarta dan Bandung, sementara yg bekerja di kampung sendiri sudah mulai bisa membentuk koperasi usaha sendiri.
Pada tahun 1970 an mayarakat Tegalwangi sudah di bantu pemerintah dengan mendirikan UPT (Unit Pelaksana Tekhnis) yg berfungsi sebagai pusat pengembangan produk, di situ juga sekaligus di buat koperasi.
Daya dukung bahan baku pada saat itu sudah masuk dari berbagai pulau yg ada di Indonesia.
Periode Tahun 1986 – 2000
Pada tahun 1986 bahan baku rotan dilarang untuk diekspor Oleh pemerintah Indonesia sehingga industri yang ada di luar negri berhenti karena tidak ada pasokan bahan baku rotan.
Di sekitar Jakarta ( JABODETABEK ), Surabaya dan Semarang bermunculan banyak industri furniture rotan untuk memasok pasar di luar negri yang memang sudah terbentuk lama, pabrik di kota-kota tersebut banyak merekrut tenaga dan karyawan biasa dari Tegalwangi, selain itu di Tegalwangi sendiri banyak muncul subkontrak untuk mensuply pabrik di kota-kota tersebut dan beberapa pabrik juga sudah mulai ada.
Pada tahun periode selanjutnya pabrik-pabrik di Jakarta banyak yang tutup karena harganya tidak bisa bersaing dengan pabrik-pabrik yang ada di Cirebon, disisi Iain diberbagai belahan dunia sedang menyukai produk rotan. Sehingga pada akhir abad 20 terjadi booming industri rotan di Cirebon.